Maqashid Syari'ah


Oleh: Jaharuddin

Latar belakang Masalah
Di awal kelahirannya, Islam dihadapkan pada gelombang filsafat Romawi dan Persia dengan beragam bentuk dan kualitasnya. Dan pada awal abad 19, Islam diserang oleh pemikiran filasafat dan ide-ide pambaharuan yang pada intinya adalah “pengraguan” terhadap orsinilitas dan relevansi Islam dalam menghadapi perkembangan zaman, seperti yang dilakukan para islamolog, para orientalis dan para murid didikannya.
Usaha musuh-musuh Islam tersebut dibantu oleh kondisi internal umat Islam dalam memahami Islam itu sendiri. Dimana umat terpecah kepada dua bagian. Yang satu memposisikan dirinya sebagai potret kuno warisan masa lalu yang tidak meyakini kemajuan zaman dan tidak membuka diri untuk berinteraksi secara baik dengan perkembangan zaman. Yang kedua; mewakili sistem modern dengan arus modernisasi IPTEK dan pesan-pesan materialis sekuler yang sama sekali tidak meyakini nilai-nilai turast (klasik islami) dengan nilai-nilai akidahnya.
Kutub pertama yaitu turatsiyun al-madhawiyun (tekstualis atau skripturalis) selalu beranggapan bahwa generasi awal tidak menyisakan satu masalahpun bagi generasi penerus untuk berdinamika dan berinovasi. Tak ada ijtihad dalam fiqih, tidak ada kreasi baru dalam bidang sastra, tidak ada inovasi ilmu pengetahuan, tak ada renovasi industri dan tak ada pembaruan dalam agama dan kehidupan.
Sebaliknya adalah al-‘ashriyun (modernis) yang hendak melakukan pembaruan dalam segala bidang. Mereka mengusung paham “liberal” daripada isu modernitas itu sendiri. Dalam bahasa Roger Graudy; “mereka mengemas kebudayaan Barat dalam kemasan Islam”. Dalam bahasa Iqbal; "hanya Ka'bah yang tak bisa diperbaharui". Sedang Rafi'i berkata; "Mereka menginginkan pembaruan dalam agama, bahasa, bahkan matahari dan bulan sekallipun".
Dua trend pemikiran umat di atas ibarat dua kutub yang saling tarik menarik. Dari kutub pertama; yang muncul adalah kejumudan dalam tasyri’ islami (syari’at Islam) baik dalam segi ide, pola fikir, modul, maupun petunjuk praktis pelaksanaan umat dalam realitas perihidup dan kehidupan keseharian.
Realitas dari kejumudan tersebut seperti yang diungkapkan almarhum Syekh Mahmoud Syaltut mantan Grand Syekh Al-Azhar Mesir tercermin dari poin-poin di bawah ini;
Umat lebih disibukkan oleh diskursus lafdziah (kulit) yang jauh dari nilai subtantif. Atau dalam istilah Dr. Muhammad Imarah dikenal dengan perang terminologi. Sangat kultus terhadap pendapat dan pemahaman yang ditulis generasi terdahulu, sehingga menutup diri untuk mengkritik atau sekedar melahirkan ide baru.
Terlalu disibukkan dengan retorika pemikiran dan kemungkinan-kemungkinan akal yang tidak praktis dan jauh dari realita amali, disamping bersikap tak acuh untuk mengembangkan fiqh amali (fikih praktis) yang sangat dibutuhkan manusia dalam proses mu’amalah dan sistem peradilan mereka.
Terlalu disibukkan dengan mencari-cari dan membuat-buat alibi apologetik yang bisa menghindarkan diri dari kewajiban hukum syar’i. Bahkan bukan saja hukum syar’i yang merupakan hasil ijtihad para ulama mujtahidin, tapi lebih dari itu menggugurkan kewajiban yang diundangkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Fanatisme buta terhadap madzhab-madzhab fiqh yang sangat berlebihan, hingga tak sedikit pengikut madzhab yang memfatwakan tidak sah melakukan hal-hal yang berbeda dengan keputusan madzhabnya. Semakin tersosialisasinya pemikiran yang mengharamkan mengikuti madzhab selain madzhab yang empat.
Sedang dari kutub kedua; munculnya ide “pembaruan kebablasan” yang jauh dari norma, kaidah, dan kode etik syariat itu sendiri. Dimana mereka lebih mirip dengan “gerakan pengraguan” daripada pembaharuan. Gerakan ini diusung oleh mereka para islamolog, para orientalis, dan murid-muridnya yang tersebar di seluruh negri-negri Islam. Mereka mendapat dukungan sarana dan prasarana memadai oleh dari penjajah Barat yang turut memperparah kondisi sosial, ekonomi, dan politik umat Islam. Dimana saat itu hampir seluruh negri-negri Islam berada di bawah cengkraman penjajahan yang tentunya selalu berusaha memecah belah persatuan umat dengan memetik sinar perpecahan dalam berbagai aspek, termasuk aspek fiqh yang telah terbukti menjadi sangat rentan meniup perpecahan umat.
Kejumudan umat Islam memahami syariat bermula dari ketidakmampuan kelompok pertama untuk membedakan fase-fase dimana syariat tersebut diundangkan (‘ahdus syari’ah) melalui turunnya wahyu dan sunah Rasul serta ijma’ sahabat, dengan fase (‘ahdut tatbiq al-syari’ah) dimana fiqh diaplikasikan dan dijabarkan menurut situasi para ulama madzhab. Maka yang terjadi adalah fanatisme buta seperti yang diungkapkan Grand Syekh Mahmoud Syaltut.
Tentunya kedua fase tersebut sangat berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri. ‘Ahdus syari’ah adalah masa Rasul Saw hidup dan menerima ketetapan wahyu dari Allah SWT, dan juga masa Khulafaur Rasyidin. Fase ini berlangsung lebih kurang 50 tahun. Dengan karakteristik mentashil (mengautentikan) syariat dari wahyu dan sunah Rasul SAW serta ijma’ para shahabat di masa Khulafaur Rasyidin. Maka keputusan syariat yang diundangkan pada fase ini yang bersumber dari al-Quran, al-Sunah, dan ijma’ shahabat sifatnya abadi, dawam (abadi), istimrar (kontinyu), dan tidak bisa dirubah dalam kondisi, situasi, tempat, dan waktu apapun.
Selanjutnya fase kedua yaitu fase ‘ahdut tatbiq al-syari’ah (Masa penerapan Syariah), merupakan fase aplikasi bayani dari perundangan yang disyariatkan fase pertama. Karakteristiknya adalah mengaktualisasikan syariat tersebut sesuai penafsiran dan tajribah (trial and error) para ulama mujtahidin kala itu. Maka unsur maslahat sangat dominan. Dengan demikian, keputusan para mujtahidin pada fase ini sifatnya tidak mengikat untuk kondisi generasi selanjutnya. Karena situasi dan kondisi akan terus mengalami perubahan dengan maslahat yang berbeda pula. Oleh karena itu sikap generasi setelah generasi tersebut adalah membuka pintu ijtihad dengan kembali menta’shil syariat dari sumber asal al-Quran, al-Sunah, dan Ijma’ Shahabi berikut memperhatikan dan mempelajari hasil ijtihad dan keputusan-keputusan para ulama mujtahidin sebagai i’tibar (bahan rujukan).
Sedang umat juga merasa risih dengan keberanian kelompok kedua yang sangat transparan dan tanpa etika mengusung pembaharuan dalam syariat hingga menyentuh aspek-aspek “sensitif” yang sangat dihormati umat kebanyakan. Yang terjadi adalah, umat merasa sempit untuk mangaplikasikan syariat namun tidak mau vulgar begitu saja meninggalkan syariat dan digantikan oleh perundangan made in manusia.
Kedua kutub tersebut dengan berbagai labelnya tidak membawa kebaikan bagi umat sedikitpun. Sebab sikap ghuluw (berlebihan) dalam beragama dilarang oleh Islam itu sendiri. Bahkan menyalahi fitrah Islam yang disifati dengan sifat wasathiah (poros tengah). Dan kita diperintahkan untuk bersikap sebagai poros konsiliasi antra dua kutub yang bersebrangan dan melakukan tranpalansi satu sama lainnya yang mampu mengikis semua dikotomi klasik modern, antara warisan dan pendatang baru, antara masa lalu dan masa sekarang dan menyatukan turast dengan kontemporer atau istilah sekarang dikenal dengan ashalah (autentik) dan mu'ashirah (kontemporer). Terangkatlah syiar Al-Jam'u (penyatuan), attaufiq (konsiliasi) dan wasathiah (moderasi). Allah Swt berfirman;
يا أهل الكتاب لا تغلوا في دينكم ولا تقولوا علي الله إلا الحق

Wahai Ahli Kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu
Wahai Ahli Kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu” (An-Nisa; 171)
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكون شهداء علي الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil (wasath) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu …” (al-Baqarah: 143).
Dari titik tolak ini sangat nampak urgensi dan esensi misi “tajdid” (pembaharuan) hakiki dalam bidang fiqih. Pembaharuan yang sifatnya wasathiah tidak terlalu terbuka vulgar, juga tidak terlalu tertutup terhadap perkembangan zaman. Pembaharuan yang menitikberatkan pada bidang furu (fiqh) tidak menyentuh ushul syariat (pokok-pokok syariat) dengan label maslahat dan paradigma “mereaktualisasi al-Quran dan al-Sunah” jauh dari fanatisme madzhabi.
Salah satu poin tajdid tersebut adalah mencarikan solusi dari setiap problematika kontemporer yang timbul dari perkembangan manusia secara keseluruhan. Sebab nash-nash sangat terbatas dan tidak merinci setiap masalah. Sedang problematika, perkembangan, dan masalah tidak akan pernah terbatas. Maka dari sini perlunya lahir satu konsep fiqh dengan metodologi dan ijtihad fiqh baru yang merupakan hasil konvergensi dari ijtihad terhadap nash al-Quran, al-Sunah, fiqh shahabi, dan hasil ijtihad ulama salaf. Atau yang dikenal sekarang dengan istilah Fiqh Nawazil.
Sebenarnya mabda Fiqh Nawazil bukan hal baru dalam Islam. Dimana Islam sangat terbuka dengan setiap perubahan. Dari sekian ribu ayat al-Quran, hanya sekian persen ayat yang tertutup dari intrepretasi mujtahid. Begitu pun dengan al-Sunah. Bahkan Rasul SAW telah menggariskan kaidah-kaidah aqli yang dimodifikasikan oleh ulama tabi’in dan atba’uttabi’in dengan kaidah ushul fiqh. Bahkan para ulama madzhab sendiri sangat anti taklid, apalagi kultus atau fanatisme buta terhadap buah ijtihadnya. Mereka semua terlepas diri dari kejumudan wacana fiqh. Maka wajar bila masa para madzhab, sekitar abad 4 Hijriah dikenal dengan “zaman keemasan” fiqh Islam.
Juga usaha ke arah tajdid fiqh telah dirintis ulama-ulama terdahulu semacam Imam Syatiby, Syekh Ibnu Taimiyah dan muridnya Syekh Ibnul Qayyim. Peran mereka sangat brilian dengan mereaktualisasikan konsep-konsep ijtihad yang telah digariskan para ulama sebelumnya dengan mereposisi semua sesuai proporsinya.

Tajdid “fiqh” sangat terbuka dengan terbukanya pintu maqashid syar’iyah yang menjadikan umat Islam mampu mengimbangi kehidupan kontemporer dan postkontemporer kapan pun, dengan tidak keluar dari jalur syariat. Disini urgensi pembahasan maqashid syar’iyah untuk dikedepankan. Semoga tulisan ini bisa mengawali kajian maqashidi khususnya di kalangan cendekiawan Indonesia.

Terminologi Maqashid
Allah suci dari kesia-siaan dalam syari’atnya, sehingga Al-Qur’an menjadikan ibadah mehdhah mengandung sebab-sebab dan berbagai hikmah yang dapat dipahami akal. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah “Sesungguhnya Shlalat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (Al-ankabut : 45). Allah berfirman dalm penjelasan diwajibkannya puasa, “Agar kamu bertaqwa” (Al-Baqarah:183), dan tentang haji, “Supaya mereka menyaksikan berbagai mamfaat bagi mereka dan upaya mereka menyebut nama Allah” (Al-Haj:28). Demikian juga Allah berfirman dalam hal zakat, “Membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka” (At-Taubah:103)[1].
Hukum yang pengaturannya melalui dalil-dalil kulli seperti : haram membunuh orang tanpa ada sebab, haram memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak syah (menyalahi hukum) dan sebagainya, hukum-hukum tersebut bersendikan prinsip-prinsip yang kokoh, yaitu prinsip keadilan dn kebajikan yang hakiki[2].
Sementara itu Muhammad Abu Zahrah[3] mengungkapkan syariat islam datang membawa rahmat bagi umat manusia . Firman Allah SWT “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. 21:107). Dan “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. 10:57). Oleh karena itu, ada tiga sasaran hukum islam, yaitu :

1. Penyucian jiwa
Agar setiap muslim bisa menjadi ssumber kebajikan, bukan sumber keburukan bagi masyarakat lingkungannya.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat islam
Adil baik menyangkut urusan ddi antara sesama kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non muslim). “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. (QS. 5:8)”.
3. Untuk maslahat.
Ini merupakan puncak yang hendak dicapai, yang harus terdapat didalam setiap hukum islam. Tidak sekali-kali suatu perkara disyariatkan oleh islam melalui Al-Qur’an maupun sunnah melainkan disitu terkandung maslahat yang hakiki, walupun maslahat itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup oleh hawa nafsunya.
Dengan demikian jelas sekali dari beberapa ayat di atas sesungguhnya segala sesuatu yang telah disyari’atkan Allah SWT mempunyai Maqasid Syari’ah. Adapun beberapa ketentuan dari Allah yang belum diketemukan maqasid syari’ahnya sampai hari ini adalah karena keterbatasan manusia untuk melekukan pengkajian dan penelitian yang mendalam tentang aspek tersebut, atau karena hal ini memang sunnatullah karena akal fikiran manusia yang terbatas, dengan demikian maqasid syari;ah tersebut adalah tujuan syariat berupa kemaslahatan di dunia akhirat bagi manusia, baik secara eksplisit diundangkan oleh Al-Quran maupun hanya secara implisit saja. Maqashid ini disebut juga dengan istilah ‘ilat hukum, makna, hikmah, munasabah, dan maslahat.

Urgensi Pemikiran Maqashid
Menurut Dr. Thaha Jabir Ilwani[4] dampak negatif dari sikap apatis kita terhadap pemikiran maqashidi adalah; Pemikiran Islam hanya tereduksi ke dalam blunder teknis fiqh semata, tidak bisa berkembang walau sudah berusaha bagaimanapun agar bisa terbuka.
Kristalisasi makna “ta’abbud” (penghambaan) hanya dalam artian “tahannuts” semata. Hal ini menjadikan wahyu jauh dari kehidupan realitas. Hal ini akan beakibat tidak medarh dagingnya nilai-nilai syari’ah dalam semua aktivitas kehidupan ummat.
Dengan demikian diperlukan usaha-usaha yang sistematis untuk mengerti minimal mengetahui, apa maksud Allah SWT membuat suatu syri’at yang telah pasti akan memberikan mamfa’at bagi manusia, sehingga internalisasi nilai islam dan islam sebagai rahmatal lil alamin dan sebagai sumber inspirator dalam kehidupan semoga bisa terwujud.

Dalil Pemikiran Maqashidi
Tujuan Syari’ dalam pembuatan hukum, ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kerusakan serta kebinasaan umat manusia. Kewajiban-kewajiban dalam syariat menyangkut perllindungan maqashid syar’iyah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Dengan demikian maqasihd dan maslahat menjadi tema-tema (istilah) yang bisa saling dipertukarkan.
Lalu apa yang dimaksud dengan maslahat? As-Syatibi mendefinisikannya dengan apa-apa yang menyangkut rizki manusia, pemenuhan kehidupan, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya.
Sedangkan Imam Ghazali mendefinisikannya dengan maslahat yang dicapai oleh manusia baik dunia maupun akhirat, baik maslahat itu dicapai dengan cara jalbu al-manafi’ (meraih manfaat) atau dengan cara daf’u al-dharar (menolak bahaya).
Kedudukan maqashid dalam syariat Islam didukung dengan dalil-dalil qathi Al-Quran dan Al-Sunnah. Hal ini mengingat Syariah sebagai basis petunjuk abadi bagi perilaku individu dan sosial muslim yang berasal dari al-Quran dan Sunnah, memiliki sebuah tujuan, yakni keadilan dalam segala manifestasinya.
Dalil-dalil al-Quran misalnya QS. Al-Anbiya 107, Yunus 57, Al-Jatsiyah 20, An-Nisa 165. Ayat-ayat ini secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa misi diutus para rasul adalah “membawa rahmat” bagi hamba-Nya. Barangsiapa yang menerima rahmat tersebut, ia akan berbahagia dunia akhirat. Dan siapa saja yang menolaknya, ia dalam keadaan merugi.
Syekh Muhammad Thahir bin ‘Asyur menyebutkan dua landasan fundamental maqashid dalam Islam, yaitu:
Fitrah, sesuai firman Allah Surat Ar-Rum 30. Fitrah disini seperti ditafsirkan Ibnu Athiyah adalah kesiapan sejak mula untuk mengetahui syariat-syariat Allah Swt dan mengimaninya. Sedang Imam Zamakhsyari menginterpretasikan dengan “penerimaan terhadap agama tauhid yaitu Islam”.
Toleransi (samahah) artinya moderat, egaliter, tidak kaku dalam proses mu’amalah tetapi tetap dalam koridor syariat. Sebagaimana difirmankan Allah surat Shad ayat26, An-Nisa 171, Al-Hadid 27.

Sejarah Pemikiran Maqashid
Di atas telah diterangkan bahwa landasan pemikiran maqashid. Pemikiran ini terus dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin dan seterusnya. Di masa sahabat, terdapat banyak sekali pemikiran maqashid yang diaplikasikan dan termanifestasikan dalam realitas kehidupan. Misalnya adalah memerangi ahli riddah di jaman Abu Bakar, pemberlakukan sistem upah di jaman Umar, pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf di jaman Ustman. Pada masa tabi’in berlaku sistem tas’ir (pengaturan harga oleh pemerintah) yang dibolehkan oleh Said bin Musayab demi kemaslahatan publik, kendati ada sabda Rasul yang secara spesifik melarang tas’ir.
Islam menjadi pelopor globalisasi dan terus menyebar ke seantero dunia. Tuntutan, kondisi, situasi, semakin berkembang ke arah modernisme dan post modernisme. Islam sebagai landasan dan acuan hukum dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan mencarikan solusi terhadap problematika yang makin hari makin memuncak. Jika tidak demikian, Islam akan terkurung dalam ketidak berdayaan.
Untuk itu para ulama terus melakukan riset ke arah menciptakan ilmu khusus berkaitan dengan maqashid. Dalam khazanah Islam tercatatlah nama Imam Syafi’i (w. 204H.), Imam Juwaini (w. 478 H), Imam Al-Ghazali (w. 505), Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Saefuddin Al-Amidi (w. 631 H), Al-Izz bin Abdussalam (w. 660 H), At-Thufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Ibnu Qayyim (w. 751 H), Al-Maqri (w. 758 H), dan As-Syatibi (w. 790 H) sebagai para pejuang pemikiran maqashid yang ingin membuka cakrawala Islam agar tetap relevan sepanjang jaman.
Abad kontemporer dewasa ini tercatat pula para ulama yang mengikuti jejak para ulama di atas diantaranya Prof. Dr. Wahbah Zuhaily guru besar Universitas Damaskus Syiria, Prof. DR. Yusuf Qardhawi guru besar Universitas Qatar, Prof. Dr. Said Ramadhan Al-Buthi guru besar Universitas Damaskus, Prof. Dr. Athiyah Shaqar guru besar universitas Al-Azhar dan ketua dewan fatwa Al-Azhar Mesir, dan ulama-ulama lainnya.
Klasifikasi Maqashid
Selanjutnya Imam Syatibi[5] membagi maqashid ke dalam tiga klasifikasi dasar. Pertama; yang sifatnya dharuriyat (primer). Kedua; hajiyat (sekunder) dan ketiga, tahsiniyat (tersier).
1. Maqashid yang sifatnya dhaririyat.
Maqashid yang sifatnya dharuriyat adalah sesuatu yang wajib adanya dan menjadi pokok serta merupakan sendi dari eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan manusia. Tanpanya, maka kehidupan manusia terganggu, keharmonisan sirna, dan keseimbangan hidup manusia menjadi goyah, timbullah kehancuran, kerusakan, dan kebinasaan.
Unsur-unsur dharuriyat tersebut adalah berkaitan dengan penjagaan terhadap agama (keyakinan), jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sebagian ulama menambahkan dengan unsur kehormatan. Ke lima hal tersebut merupakan soko guru keseimbangan dunia. Minus satu saja dari ke lima unsur di atas, maka terjadi ketidakseimbangan kehidupan.
Ke lima hal primer di atas merupakan resume dari hak-hak pokok yang telah mendapat jaminan berdasarkan al-Quran. Penjabarannya seperti diungkapkan Bassiouni (1982: 23) dan Hofmann (1993: 129-130) yaitu:
a. Hak hidup.
b. Keamanan diri.
c. Kemerdekaan.
d. Perlakuan yang sama (non diskriminasi).
e. Kemerdekaan berfikir, berekspresi, keyakinan dan beribadah.
f. Perkawinan.
g. Kemerdekaan hukum.
h. Asas praduga tak bersalah.
i. Nullah paena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang sebelum perbuatan itu).
j. Perlindungan dari kekejaman.
k. Suaka.
l. Kebebasan berserikat dan berkumpul.
m. Berprofesi dan bekerja.
n. Hak memilih, memperoleh dan menentukan hak milik.
Menjaga agama (din) adalah tanggung jawab individu dan kolektif. Sebab misi manusia diciptakan adalah untuk beribadah (Ad-Dzariyat: 56). Demikian halnya dengan misi para rasul yang diutus ke muka bumi, semuanya untuk menyampaikan agama kepada manusia agar ibadah yang dilakukan benar-benar hanya untuk Allah (Al-anbiya: 156). Oleh karena itu, Islam mengharamkan “riddah” (keluar dari keyakinan Islam), dan menjadikan darah orang yang murtad halal untuk dibunuh. Rasul Saw bersabda; “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu sebab, ... orang yang keluar dari agamanya (Islam) dan meninggalkan jama’ah (islamiyah)”. (HR. Bukhari: vol. 12/201). Hal ini menunjukkan betapa urgennya beragama (Islam).
Memelihara nafs adalah menjaga lenyapnya nyawa individu atau kolektif. Maka Islam melarang bunuh diri (Q.S. 4:30), dan juga pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar bagaikan membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara manusia seluruhnya. (Q.S. 5: 32). Dan orang yang bunuh diri maka ancamannya adalah neraka jahanam. Rasul bersabda; “Barangsiapa yang loncat dari tebing gunung dengan niat hendak bunuh diri, maka ia berada di api jahanam selamanya”. (HR. Bukhari; vol. 10/247).
Sebagai sanksi dari pelanggaran terhadap nafs, Islam mengundangkan hukum qishas dengan diyat bila si keluarga korban memaafkan (Q.S. 2: 179, Al-Furqan: 68). Hal ini sebagai suatu justice-fairness oriented bukan balas dendam. Karena hukum qishas sendiri bertujuan untuk (1) penegasan kembali dari keimanan; (2) penentuan pertanggungjawaban dari pelaku; (3) perbaikan bagi korbannya; (4) perbaikan sosial.
Jadi hukum qishas ada sebagai solusi atas apa yang disebut dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia/crimes againts persons”, sehingga mempu menjaga keutuhan hak asasi manusia, hak jiwa, hak harta, agama dan sebagainya.
Memelihara akal diundangkan al-Quran dengan kewajiban mencari ilmu pengetahuan (Thaha: 114), mengharamkan hal-hal yang bisa mengganggu kenormalan akal (Al-Maidah: 91). Juga menjaga keturunan, maka Allah Swt mengharamkan zina (Al-Isra: 32), menghalalkan nikah (An-Nisa: 3), dan benar-benar menjaga kehormatan wanita dengan diwajibkan menutup aurat, tidak melayani lawan jenis yang bukan mahram, dan bersikap normal dalam berpenampilan. Untuk menjaga harta (mal), Allah Swt melarang harta memberikan harta kepada orang-orang bodoh (An-Nisa: 5), mengharamkan pencurian, pemanfaatan yang tidak proporsional.
Bila terjadi pelanggaran terhadap hal di atas, Islam telah mempersiapkan perangkat hukumnya. Bila kejahatan berkaitan dengan kepentingan publik seperti harta (mal) dengan pencurian, korupsi, dan kejahatan lainnya atau berkaitan dengan keturunan (nasl) seperti berzina, atau yang merusak akal seperti meminum khamr, ekstasi, pil koplo, maka sebagai solusi Islam menerapkan hukum hudud. Yaitu kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd (yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah). Dalam definisi ini, ‘hukuman yang ditentukan’ berarti bahwa baik kuantitas, maupun kualitas ditentukan, dan ia tidak mengenal tingkatan.
2. Maqashid yang sifatnya Hajjiyat
Maqashid yang kedua adalah yang bersifat hajiyat (sekunder) yaitu hal-hal yang diperlukan manusia dengan tujuan membuat ringan, lapang, nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan beban yang harus dipikul dalam mengarungi kehidupan. Ia mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup mudah bagi mereka.
Dalil kebutuhan hajiyat ini adalah firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah: 286, Al-Hajj: 78, Al-Baqarah: 185. Selain itu sabda Rasul SAW tentang keharusan berdakwah dengan mempermudah tidak mempersulit agama (Bukhari: vol 1, hl. 323).
3. Maqashid yang sifatnya tahsiniyah
Sedangkan maqashid tahsiniyat (tersier/perbaikan-perbaikan) yaitu sesuatu yang diperlukan untuk menjadikan kehidupan lebih indah dan harmoni yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik dari keperluan sekunder (hajiyat). Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup (dharuriyat); juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan membuat hidup lebih mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam arti ini perbaikan mencakup kebajikan (virtues), cara-cara yang baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi bagi peningkatan cara hidup.
Dalil dari maqashid ini adalah firman Allah Swt dalam surat Al-Qalam: 4, sabda Rasul Saw; “Bahwasannya aku diutus untuk mereformasi kemaslahatan akhlak” (HR. Ahmad, vol. 2/381), termasuk dalam sabda Rasul ini adalah kemaslahatan dunia dan agama.
Kejahatan terhadap kebutuhan ini diancam dengan hukum ta’zir yang landasan hukumnya didasarkan pada ijama’ (konsensus). Hukuman ta’zir ini berkaitan dengan kerusakan yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik, sosial, politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat negara secara keseluruhan. (Sanad, 1991: 63).
Syarat-Syarat dalam memahami maqashid Al-Syariah.
Menurut Al-Syatibi[6] sumber utama ajaran islam adalah al-qur’an, maqashis syari’ah terkandung dalam al-qur’an. Dengan demikian diperlukan persyartan tertentu agar mampu memahami maqashid syari;ah dengan baik, minimal ada tiga :
1. Memiliki pengetahuan bahasa arab
Didasari oleh Surat As-Syura’ ayat 192-194 berikut ini “Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, (QS. 26:192). dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), (QS. 26:193). ke dalam hatimu (Muahammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, (QS. 26:194).
Pemahaman terhadap bahasa arab ini bukan hanya secara tekstual, namun diperlukan pula pengetahuan yang luas terhadap budaya bangsa arab dalam mengunakan bahasa, dalam kehidupan karena, adakalanya bangsa arab mengunakan kata “Am untuk sesuatu yang khusus, termasuk pemahaman yang baik tentang metode Qiro’at yang berkembang dan metode tafsir yang digunakan.
Hal ini diperlukan agar terdapat kehati-hatian dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat al-qur’an sehingga tidak keluar dari maqashid syariah yang sebenarnya yang diinginkan Allah dari ayat tersebut.
2. Memiliki pengetahuan tentang sunnah
Diperlukan pula pemahaman yang baik terhadap sunnah [7], karena :
a. Sunnah berfungsi memperkuat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an. Hukum permasalahan yang ditetapkan oleh al-qur’an memiliki dua sumber, al-quraa’an dan sunnah, al-qur’an bersumber sebagai musbit (penetap hukum), sedangkan sunnah befungsi sebagai uayid (penguat) ketetapan hukum al-qur’an.
b. Memberi bayan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara garis besar dalam al-qur’an seurat anhal berikut ini menegaskan tentang fungsi ini “keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44)
c. Fungsi sunnah sebagai penetap ataupun pencipta hukum yang telah diatur dalam al-qur’an.
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
Persyaratan selanjutnya adalah mengetahui Asbabul Nuzul ayat tersebut, karena dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat tersebut maka akan mempermudah mengetahui mengapa, dan dalam kondisi apa ayat tersebut di turunkan, dengan demikian akan mempermudah apa maqashis syariah yang diinginkan Allah dari ayat tersebut baik yang jelas maupun yang tersirat.

Kesimpulan
Pemikiran maqashid akan tetap signifikan hingga akhir jaman. Karena dengan maqashid Islam akan mampu menjawab tantangan dan problematika yang semakin berkembang dalam kuantitas, intensitas dan kualitasnya, yang tentunya tidak sebanding dengan jumlah nash qath’i (al-Quran dan Sunnah).
Disinilah Allah memperlihatkan bahwa islam tersebut agung dan sempurna, dan memotifasi ummatnya untuk terus berkembang dengan selalu mendapat naungan dari-Nya. Karena banyak hal yang bisa dilakukan yang sebelumnya mungkin belum pernah dicontohkan oleh Rasululullah SAW tetapi ternyata hal tersebut bisa dilakukan dengan tidak melanggar syariat yang telah ditetapkan Allah untuk kemaslahatan manusia. Wallahu ‘alam bis shawab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur,an Terjemahan
2. Bakri, Jaya, Asafri, Konsep maqashid Syari’ah, Menurut Al-Syatibi, Rajawali Pers Jakarta, 1996.
3. Burhanuddin, Nandang, Maqasid Syari’ah, Makalah Ushul Fiqh, PKTTI UI, 2002.
4. Imarah, Muhammd, Imarah, Saripati Hadist Al-Bukhari, Pustaka Al-Kautsar Jakarta. 2002
5. Musbikin, Musbikin, Qawa’id Al-Fiqiyah, Rajawali Pers, Jakarta, 2001.
6. Qaradhawi, Yusuf, Fikih Taysir, Metode Praktis mempelajari Fikih, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2001.
7. Zahra, Abu, Muhhamad, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus Jakarta,, 2002.

[1] Yusuf Qaradhawi, Fikih Taysir, Metode Praktis mempelajari Fikih, 2001, hal 10 - 11
[2] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqiyah, 2001, hal 1
[3] Dalam Ushul Fiqih, 2002, hal 544
[4] Dalam Maqasid Syari’ah, Nandang Burhanudin, 2002.
[5] Dalam Maqasid Syari’ah, Nandang Burhanudin, 2002.

[6] Asafri jaya Bakri, Konsep maqashid Syari’ah, Menurut Al-Syatibi, 1996, hal 74
[7] Asafri jaya Bakri, Op Cit, hal 74 - 83

, , ,

0 comments

Write Down Your Responses

catatan2 universitas Kehidupan

"Inti dari Kecerdasan adalah Bermanfaat" . Powered by Blogger.