Jokowi, Dahlan Iskan, dan kawan-kawannya
foto: http://media.viva.co.id |
Beberapa hari ini deman Jokowi melanda masyarakat Jakarta, saya yang memiliki KTP Jakarta namun sedang tidak mukim di Jakarta pun akhirnya juga ikut senang mengklik berita, tindak tanduk dan sepak terjang yang dilakukan Jokowi dan Dahlan Iskan.
Ketika Pilkada DKI kemarin, saya bukanlah pendukung Jokowi, jagoan saya kalah dalam pertarungan, dan dengan besar hati menerima kekalahan, dan sekarang Jokowilah sebagai pemenang. Yang menarik bagi saya adalah gejala sebelum dan setelah terpilihnya Jokowi. Masyarakat sangat mengelu-elukan beliau, bahkan menurut pandangan subyektif saya, beliau lebih dielu-elukan oleh penduduk Jakarta bila dibandingkan pejabat lainnya, mengapa?, gejala apakah yang sedang terjadi dalam hati dan perasaan masyarakat kita?
Awalnya saya melihat gejala Jokowi adalah persepsi yang terbentuk di masyarakat yang sengaja ataupun tidak, di munculkan oleh media dan konsultan politik. Sepertinya persepsi tersebut belum tentu benar 100%. Lebih dalam saya melihat, ternyata ada fenomena berjaraknya pejabat publik dan rakyat yang telah berlangsung lama sejak Indonesia merdeka, dan di era reformasi ini muncul rasa rindu yang mendalam masyarakat terhadap pejabat publik yang benar-benar mau merasakan kesusahan rakyat. Masyarakat benar-benar rindu dengan pejabat yang apa adanya, pejabat yang tidak minta dilayani, pejabat yang menggunakan pakaian, kendaraan, dan fasilitas lainnya, sama dengan masyarakat kebanyakan, walaupun saat yang sama dia mampu, mempunyai dan halal mengunakan fasilitas yang lebih dari yang dia gunakan.
Masyarakat sepertinya sudah lelah dengan berbagai permainan sinetron yang selama ini diperankan oleh banyak pihak termasuk pejabat publik. Timbul gejala ketidak percayaan masyarakat terhadap pejabat yang membangun citra dirinya berpendidikan, pintar, cerdas, dan embel-embel lainnya. Konon saat menjelang pemilu dan pilkada seorang calon legislatif maupun eksekutif bersegera untuk menambah gelar akademiknya, biar saat kampanye kelihatan lebih menyakinkan, misalnya gelar sarjana, master, doktor, bahkan profesor.
Yang terjadi saat ini malahan sebaliknya, gelar-gelar akademik tersebut sepertinya telah membuat rakyat bosan, karena kenyataannya orang-orang berpendidikan, pintar, cerdas tersebut terlalu elitis, pintar beretorika, namun sedikit manfaat yang dirasakan rakyat kebanyakan. Pada saat kampanye janji-janji manis ditawarkan kepada rakyat, setelah terpilih, lupa akan janji-janjinya, dan kalau ditagih, sangat pintar menjawab dengan retorika, yang bisa jadi memang logis dan menyakinkan, sampai-sampai masyarakat kalah dalam beretorika.
Bahkan dari sisi penampilan dan wajah pun saat ini mempengaruhi, apakah wajah mereka mewakili dari kalangan yang pernah merasakan pahit getirnya kehidupan atau tidak, dan akan sangat membantu jika saat ini pun diwajah-wajah mereka masih terlihat dengan jelas, goresan pahit getirnya perjuangan kehidupan yang mereka lakukan. Melalui media ini, akhirnya masyarakat menarik kesimpulan, bahwa apa yang dijanjikan lebih masuk akal dan yakin dilaksanakan.
Bahkan dari sisi penampilan dan wajah pun saat ini mempengaruhi, apakah wajah mereka mewakili dari kalangan yang pernah merasakan pahit getirnya kehidupan atau tidak, dan akan sangat membantu jika saat ini pun diwajah-wajah mereka masih terlihat dengan jelas, goresan pahit getirnya perjuangan kehidupan yang mereka lakukan. Melalui media ini, akhirnya masyarakat menarik kesimpulan, bahwa apa yang dijanjikan lebih masuk akal dan yakin dilaksanakan.
Implikasi masa transisi
Ini adalah implikasi masa transisi dari masa berjaraknya pejabat publik dengan rakyat, ke masa menyatunya pejabat publik dengan rakyatnya, dan ini baik untuk demokrasi di Indonesia, akan mendorong setiap orang yang mau menjadi pejabat publik untuk benar-benar mau merasakan pahit getirnya kehidupan pada masyarakat bawah, yang saat ini masih dominan di Indonesia.
Tetap difahami ini adalah budaya masa transisi yang terus harus dikawal, jangan sampai pilihan rakyat dijatuhkan pada hal-hal yang sebenarnya artificial, dalam sistim demokrasi idealnya pejabat publik yang terpilih adalah dari jalur partai politik yang kuat, karena ini penting untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh eksekutif didukung penuh oleh legislatif yang menjadi perwakilan rakyat secara formal, idealnya pemimpin itu adalah pemimpin yang sholeh, berpendidikan, cerdas, benar-benar mau merasakan keluhan masyarakat bawah, saat yang sama mempunyai kekuatan dan dukungan yang kuat untuk menuntaskan program-program yang benar-benar dirasakan rakyatnya.
Pada saat ini, lembaga-lembaga yang seharusnya dimuliakan, namun dicoreng moreng dengan berbagai kasus yang mereka buat sendiri, legislatif tidak mendapatkan simpati dari rakyat, yudikatif juga demikian, eksekutifpun sama, termasuk sebagian partai politik yang merupakan pilar demokrasipun juga demikian. Akhirnya masyarakat seperti tidak mempunyai alternatif yang tepat untuk menyalurkan aspirasinya. Aspirasi masyarakat disalurkan melalui media, unjuk rasa dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak mampu mewakili aspirasi masyarakat bawah.
Maka tidak aneh, saat ini masyarakat mudah terpancing, mudah terpicu dan sangat bersimpati ketika satu-satunya lembaga yang dianggap masih bisa diharapkan seperti KPK dizholimi, maka rakyat berbondong-bondong untuk membelanya, fenomena ini pulalah yang terjadi dengan Jokowi. Jokowi mendapatkan pembelaan yang besar dari rakyat karena di anggap orang-orang yang menghidupkan pelita perbaikan di Jakarta, dan begitu juga dengan Dahlan Iskan, beliau juga dianggap orang-orang yang memberikan harapan pada masyarakat, dan masyarakat percaya mereka adalah orang-orang yang tidak hanya beretorika, namun mereka adalah orang-orang yang mau dan mampu melaksanakannya. Jangan heran jika suatu saat ada pihak-pihak yang menghambat dan menganggu tokoh-tokoh yang menghidupkan pelita harapan masyarakat ini, masyarakat akan menjadi tameng dalam membela tokoh-tokoh ini.
Pelajaran
Dari kasus ini semua pihak hendaknya mengambil pelajaran bahwa, saat ini masyarakat rindu perbaikan yang bukan pada tataran retorika dan angka-angka yang tidak dirasakan masyarakat bawah. Tidak ada manfaatnya bagi masyarakat bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,7% pada saat AS dan Eropa bergejolak, transaksi bursa efek Indonesia Rp. 5,8 triliun perhari, Indonesia masuk menjadi negara G20, dan seterusnya. Masyarakat memerlukan sisi riil dari pembangunan, seperti tidak macet, banjir berkurang, setiap anak usia sekolah wajib sekolahkan dengan fasilitas penuh dari pemerintah, kesehatan murah dan mudah didapatkan dan pejabat yang tidak berjarak dengan masyarakat. Wallahu alam bishawab.
hanya secuil catatan sederhana, semoga bermanfaat.
Hannover, Musim gugur, 17 Okt 2012
Ini adalah implikasi masa transisi dari masa berjaraknya pejabat publik dengan rakyat, ke masa menyatunya pejabat publik dengan rakyatnya, dan ini baik untuk demokrasi di Indonesia, akan mendorong setiap orang yang mau menjadi pejabat publik untuk benar-benar mau merasakan pahit getirnya kehidupan pada masyarakat bawah, yang saat ini masih dominan di Indonesia.
Tetap difahami ini adalah budaya masa transisi yang terus harus dikawal, jangan sampai pilihan rakyat dijatuhkan pada hal-hal yang sebenarnya artificial, dalam sistim demokrasi idealnya pejabat publik yang terpilih adalah dari jalur partai politik yang kuat, karena ini penting untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh eksekutif didukung penuh oleh legislatif yang menjadi perwakilan rakyat secara formal, idealnya pemimpin itu adalah pemimpin yang sholeh, berpendidikan, cerdas, benar-benar mau merasakan keluhan masyarakat bawah, saat yang sama mempunyai kekuatan dan dukungan yang kuat untuk menuntaskan program-program yang benar-benar dirasakan rakyatnya.
Pada saat ini, lembaga-lembaga yang seharusnya dimuliakan, namun dicoreng moreng dengan berbagai kasus yang mereka buat sendiri, legislatif tidak mendapatkan simpati dari rakyat, yudikatif juga demikian, eksekutifpun sama, termasuk sebagian partai politik yang merupakan pilar demokrasipun juga demikian. Akhirnya masyarakat seperti tidak mempunyai alternatif yang tepat untuk menyalurkan aspirasinya. Aspirasi masyarakat disalurkan melalui media, unjuk rasa dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak mampu mewakili aspirasi masyarakat bawah.
Maka tidak aneh, saat ini masyarakat mudah terpancing, mudah terpicu dan sangat bersimpati ketika satu-satunya lembaga yang dianggap masih bisa diharapkan seperti KPK dizholimi, maka rakyat berbondong-bondong untuk membelanya, fenomena ini pulalah yang terjadi dengan Jokowi. Jokowi mendapatkan pembelaan yang besar dari rakyat karena di anggap orang-orang yang menghidupkan pelita perbaikan di Jakarta, dan begitu juga dengan Dahlan Iskan, beliau juga dianggap orang-orang yang memberikan harapan pada masyarakat, dan masyarakat percaya mereka adalah orang-orang yang tidak hanya beretorika, namun mereka adalah orang-orang yang mau dan mampu melaksanakannya. Jangan heran jika suatu saat ada pihak-pihak yang menghambat dan menganggu tokoh-tokoh yang menghidupkan pelita harapan masyarakat ini, masyarakat akan menjadi tameng dalam membela tokoh-tokoh ini.
Pelajaran
Dari kasus ini semua pihak hendaknya mengambil pelajaran bahwa, saat ini masyarakat rindu perbaikan yang bukan pada tataran retorika dan angka-angka yang tidak dirasakan masyarakat bawah. Tidak ada manfaatnya bagi masyarakat bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,7% pada saat AS dan Eropa bergejolak, transaksi bursa efek Indonesia Rp. 5,8 triliun perhari, Indonesia masuk menjadi negara G20, dan seterusnya. Masyarakat memerlukan sisi riil dari pembangunan, seperti tidak macet, banjir berkurang, setiap anak usia sekolah wajib sekolahkan dengan fasilitas penuh dari pemerintah, kesehatan murah dan mudah didapatkan dan pejabat yang tidak berjarak dengan masyarakat. Wallahu alam bishawab.
hanya secuil catatan sederhana, semoga bermanfaat.
Hannover, Musim gugur, 17 Okt 2012
0 comments
Write Down Your Responses