Dekapan Pembantu

Tertarik untuk mengamati gejala sebagian pasangan muda di Jakarta, dengan berfikir praktis didukung kemampuan ekonomi, ketika mempunyai anak, maka langkah awal yang dilakukan adalah mencari baby sitter dan pembantu, padahal tidaklah mudah mendapatkan baby sitter, dan dibutuhkan merogoh kantong sampai jutaan rupiah untuk mendapatkan baby sitter.
Masalahnya, bukan berapa uang yang dikeluarkan oleh pasangan muda untuk mendapatkan baby sitter tersebut, namun adakah dampak psikologis terhadap anak-anak pasangan muda, jika sehari-hari anak-anak lebih banyak bersama sang pembantu?
Topik ini bisa debatable, karena tentunya pasangan muda mempunyai alasan dalam memutuskan me-rekrut baby sitter dan pembantu ke wilayah domestik mereka. Salah satu alasannya adalah karena suami istri bekerja, lingkungan eksternal yang semakin menantang seperti macet, membentuk pola berangkat pagi-pagi dan pulang sudah malam.
Sementara keluarga bisa jadi diluar kota, maka tidak banyak pilihan, selain merekrut baby sitter dan pembantu. Alasan lain, memberikan waktu yang cukup kepada pasangan untuk aktualisasi diri, tidak perlu direpotkan urusan domestik berupa mengasuh anak, memasak, mencuci, membersihkan rumah.
Bisa juga, berupa mulai abainya peran, terhadap kasih sayang, dan rasa terhadap anak. Pemenuhan kebutuhan terhadap anak-anak tereduksi dengan memberikan fasilitas yang cukup bahkan melebihi kebutuhan, seperti mainan, liburan, fasilitas antar jemput, bahkan driver sendiri untuk anak-anak.
Apakah ini baik terhadap tumbuh kembang anak, jangka pendek ataupun jangka panjang?
Apakah tidak ada kekhawatiran, sebagian besar hari, anak-anak bersama baby sitter dan pembantu?
Bukankah memandikan anak, mencebok anak, mengendong anak, mencuci pakaiannya, membacakan cerita, mendengarkan celotehan dan keluh kesahnya juga bagian dari pembentukan karakter anak?
Tidakkah miris, melihat anak-anaknya lebih sering digendong dan didekap oleh baby sitter dan pembantu dibanding orang tuanya?
Apakah tidak khawatir, kitalah orang tua biologis anak-anak tersebut, tapi baby sitter dan pembantulah orang tua psikologis anak-anak kita?
Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang bisa dibangun.
Ada baiknya, kita merenung dan bertanya kepada diri, apa yang kita rasakan jika anak-anak tersebut adalah diri kita?, apa yang kita rasakan jika dulu kita tidak pernah diantar oleh orang tua ke sekolah, karena sudah digantikan pak sopir, kita tidak pernah dijemput oleh orang tua kita ke sekolah, ke tempat les, ke tempat olah raga, karena peran itu telah digantikan oleh sopir.
Kita tidak pernah diajarkan sholat, diajak sholat ke masjid dan mengaji oleh orang tua kita, peran inipun saat ini , sudah digantikan oleh guru mengaji atau sekolahnya.
Saat yang sama, terbangun fungsi orang tua adalah mencari penghasilan sebanyak-banyaknya , agar bisa memberikan fasilitas terbaik , mulai dari sekolah terbaik dan mahal, mainan, liburan, mobil dan sopir pribadi.
Lingkungan, memang terus berubah, nilai bisa jadi bergeser, namun kebenaran tidak akan pernah hilang, bertanyalah ke hati yang tidak pernah berbohong, cara seperti itukah yang terbaik untuk keluarga kita. Semoga tidak lahir generasi dekapan pembantu.
Jakarta, 29 Oktober 2013

,

0 comments

Write Down Your Responses

catatan2 universitas Kehidupan

"Inti dari Kecerdasan adalah Bermanfaat" . Powered by Blogger.