Riset S3 Luar Negeri Sama dengan Belajar 24 Jam Sehari


KETIKA Yayasan Slamet Rijadi, Yogyakarta, memutuskan untuk memberi saya beasiswa studi luar negeri, berbagai perasaan muncul. Ada perasaan senang, sedih, bangga, dan takut. Maklum, saat itu belum genap satu setengah tahun saya bekerja di Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Senang karena memperoleh kesempatan belajar di luar negeri. Sedih karena harus berpisah dengan suami dan keluarga besar. Bangga karena mendapat beasiswa dan tidak menyangka kesempatan itu datang begitu cepat, tetapi juga takut karena membayangkan hidup sebatang kara di negeri orang.

SAAT itu, Januari 1997, ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di Glasgow, salju turun kecil-kecil dan suhunya beberapa derajat di bawah nol. Sebagai calon research student yang akan mengambil Master of Philosophy (MPhil), saya tidak harus datang bertepatan tahun ajaran baru. Konsekuensinya, tidak bertemu dengan teman seperjalanan.

Dengan maksud ingin berhemat, dari bandar udara, saya memutuskan naik bus menuju pusat kota. Agar tidak salah jurusan, saya memberanikan diri bertanya pada sopir bus. Apa jawabnya? Tidak satupun kata-katanya yang saya pahami, meski dia menjawab dengan amat ramah. Wah, saya baru sadar, ini dia yang disebut logat Scottish. Nilai tes IELTS saja yang cukup tinggi rupanya tidak bisa langsung terpakai.

Karena bus tidak melewati University of Strathciyde, saya diturunkan di George Square, taman kota di pusat Glasgow. Universitas yang saya tuju, katanya, dua blok dari tempat itu. Saat itu baru pukul dua siang, tetapi langit amat redup. Belum lagi udara dingin terasa menusuk tulang. Padahal, saya sudah memakai baju dengan benar. Konon, untuk mengusir dingin, bukan dengan memakai baju berlapis-lapis, tetapi disiasati dengan baju dalam yang mampu menahan panas tubuh (biasanya dari bahan wol halus), lalu cukup dilapis baju biasa dan jaket. Sebelumnya, saya sempat berbelanja wol mahal itu di Jakarta. Namun, karena belum terbiasa dengan suhu serendah itu, tetap saja saya menggigil. Kata orang, seharusnya saya datang saat summer.

Perjalanan yang hanya dua blok dengan sebuah koper besar melewati jalan menanjak tajam itu ternyata melelahkan. Beberapa pria menawarkan bantuan, tetapi saya menggelengkan kepala karena takut. Sesampai di accomodation office, langit kian redup. Belakangan saya tahu, matahari adalah barang langka di Glasgow. Staf di sana mengatakan, saya hampir terlambat sebab dua jam lagi kantor tutup dan besok weekend sehingga tidak mudah mencarikan akomodasi bagi saya. Satu-satunya tempat yang tersedia cukup jauh dari kampus dan mau tidak mau saya menginap di sana sementara. Wah, masih lumayan ada sisa waktu dua jam, coba kalau saya tiba hari Sabtu atau Minggu, keadaannya pasti lebih buruk. Jujur saja, saat memilih hari keberangkatan dan memberitahukan jadwal kedatangan ke kampus lewat faksimile, saya tidak memikirkan weekend.

SAYA memulai kehidupan di Glasgow dengan mencoba mengurus sendiri semua persiapan studi. Mulai izin tinggal di kepolisian, menguangkan traveller cheque, membuka rekening, membayar tuition fee, mencari tempat tinggal tetap, sekaligus menemui calon pembimbing. Beberapa waktu kemudian, saya baru sadar kalau saya rugi cukup besar untuk komisi menguangkan traveller cheque di bank lokal. Padahal, kalau saya menguangkan di kantor yang menerbitkan traveller cheque, tidak dipungut komisi sepeser pun.

Sampai tiga minggu pertama, saya belum bertemu orang Indonesia. Melalui teman dari Jerusalem, akhirnya saya dikenalkan pada seorang bapak asal Bandung yang juga tengah studi di Strathclyde. Lewat bapak itu, saya berkenalan dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Glasgow dan mulai punya kawan orang Indonesia.

Meski begitu, saya tidak tinggal satu flat dan tidak banyak bergaul dengan mereka sebab takut bahasa Inggris saya mampet. Saya memilih tinggal dengan cewek Perancis dan Edinburg. Lewat mereka, saya belajar aksen Scottish, mulai hafal "jalan-jalan tikus" di Glasgow, mulai tahu tempat berbelanja bumbu dan makanan Asia, dan yang terpenting, belajar bagaimana menemukan buku di perpustakaan, yang di mata saya amat lengkap, besar, dan canggih, dibandingkan dengan perpustakaan-perpustakaan di Indonesia. Juga, bagaimana menemukan bahan pustaka yang tidak ada di perpustakaan sekaligus meng-order-nya ke perpustakaan lain secara gratis. Tinggal menunggu, datanglah bahan pustaka itu.

Dengan full scholarship, saya tidak perlu pusing soal keuangan. Tugas saya hanya belajar sebaik mungkin. Meski demikian, saya berusaha menabung agar bisa menghadiri seminar-seminar demi kepentingan studi. Saya juga beruntung karena mudah bertemu pembimbing utama. Research student lain mengaku amat sulit bertemu pembimbing. Kalaupun bisa, maksimal hanya setengah jam.

Sementara itu, pembimbing utama saya amat sabar dan mau memberi kuliah mengenai materi yang belum saya pahami. Kami bisa menghabiskan tiga jam setiap pertemuan yang berisi lecturing dan discussion. Beliau sebenarnya seorang profesional yang mengikuti uji professorship untuk menduduki jabatan ketua jurusan. Pengetahuannya sebagai profesional yang pindah ke jalur akademik amat memperkaya riset yang saya jalani.

Faktor itu yang membuat studi saya berjalan lancar, sampai akhirnya hanya dalam waktu delapan bulan riset saya mulai menemukan jawabannya. Kedua pembimbing amat terkesan dan menawarkan untuk dilanjutkan ke S2 melalui ujian ringan.

Saya bangga dengan hasil ini, tetapi tidak dapat memutuskan sendiri sebab semua tergantung penyandang dana. Saya jelaskan, dengan penawaran ini, saya akan memperoleh tambahan dua tahun untuk mendapat gelar PhD (tanpa gelar MPhil) bila saya berhasil dalam ujian dengan riset yang dianggap masuk kualifikasi S-3 sehingga meski menempuh masa riset total tiga tahun, saya tetap hanya akan memperoleh gelar MPhil. Kemungkinan ketiga, saya gagal kedua-duanya.

Mempertimbangkan prestasi saya, beasiswa akhirnya diperpanjang. Malang, ketika status studi diubah, Indonesia terkena krisis ekonomi sehingga rupiah amat lemah. Penyandang dana tentu mengalami kesulitan keuangan. Sejak itu, meski tetap mengalir, beasiswa tidak datang tepat waktu seperti sebelumnya, biaya riset dan uang buku juga mengalami penurunan berarti. Saya sadar dan memakluminya.

Kondisi ini membuat saya harus mengatur keuangan lebih ketat sekaligus belajar sebaik-baiknya sebab hampir tidak mungkin meminta tambahan beasiswa bila saya tidak selesai tepat waktu. Saya juga berpikir ingin mencari beasiswa lain, tetapi itu tidak mudah. Kalau berhasil, pencairan dananya sering masih harus menunggu.

DENGAN pertimbangan ingin lebih mengenal orang Scotland dan aksen Scottish-nya, saya memutuskan untuk melamar menjadi chef assistant pada sebuah cafe. Terus terang, saya tidak terlalu suka atau pintar memasak, tetapi kalau hanya menyiapkan bahan, mengupas, memotong, sampai membereskan semua keperluan dapur, bukanlah hal sulit dilakukan.

Ketika lamaran diterima, saya jelaskan pada pemilik cafe bahwa saya butuh bantuannya untuk mendapatkan izin kerja. Masalahnya, baik izin tinggal maupun kontrak beasiswa tidak mengizinkan saya bekerja sambilan. Beruntung, pemilik cafe mengerti kesulitan saya dan bersedia sedikit berbohong saat mengisi formulir izin kerja dengan menyebutkan, saya berpengalaman, mampu bekerja baik, rajin, dan hasilnya melebihi standar. Hal ini penting sebab biasanya akan muncul pertanyaan, mengapa dia tidak mempekerjakan orang Glasgow yang masih menganggur daripada mempekerjakan orang Asia yang sedang studi seperti saya. Atas bantuannya, akhirnya saya sah memiliki izin kerja sekaligus National Insurance Cardnumber-semacam asuransi kecelakaan kerja.

Keberuntungan lain datang saat suami memperoleh beasiswa lewat British Scolarship Scheme untuk mengambil Master di universitas yang sama. Tetapi, karena beasiswanya terbatas, saya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan studi sendiri. Paling tidak, memasuki tahun ketiga, saya punya pendamping untuk berbagi.

Sebagai research student tanpa kelas tatap muka, saya bisa mengatur jadwal kerja di cafe. Namun, tidak demikian dengan suami yang mengambil Taught Course. Jadwalnya amat ketat sehingga tidak dapat membantu mencari tambahan biaya hidup. Saya bekerja lima hari seminggu sekitar empat jam setiap harinya. Upahnya tidak besar, hanya mengikuti standar upah minimal, namun cukup untuk menutup biaya makan dan buku, sisanya bisa ditabung, kalau-kalau ada keterlambatan pengiriman beasiswa atau jika harus memperpanjang masa studi.

Selain uang, akibat positif bekerja di cafe, saya bisa memasak, sekaligus banyak belajar aksen Scottish. Teman-teman di cafe sering heran dengan aksen Scottish saya yang makin kental. Tetapi, akibat buruknya, saya terpaksa kurang tidur.

Biasanya, pagi sebelum ke cafe, saya membaca di perpustakaan, sepulangnya mampir lagi ke kampus untuk bertemu pembimbing sekaligus mencari bahan studi lewat Internet. Lepas malam, saya habiskan untuk mengerjakan riset dan menulis. Karena bekerja, saya terpaksa rutin bertahan hingga pukul setengah tiga pagi dan rela kehilangan weekend, sampai suami dan koki cafe sering cemas, takut saya jatuh sakit.

Kehadiran suami yang rela mengurus dapur, bersih-bersih, dan tetek bengek di flat kami, sekaligus pengertiannya untuk menunda kehadiran anak terasa amat membantu. Dua tahun lebih saya menjalani kehidupan seperti ini, thank God, nothing serious had happened to me, kecuali akhirnya saya dinyatakan lulus dengan koreksi amat minor dan riset dinyatakan qualified untuk menjadi seorang PhD. Suami pun dapat menyelesaikan Master-nya tepat waktu.

Betapa ini perjuangan yang melelahkan dengan hasil sebanding. Saya, yang hanya ingin menjadi dosen, akhirnya mendapat kesempatan mengambil MPhil, dan malah langsung mendapat PhD. Saat itu saya baru 28 tahun dan tidak menyangka berhasil melalui ujian yang cukup berat. Seorang teman dari Pakistan pernah mengatakan, mengambil PhD di negeri orang adalah belajar 24 jam sehari, belajar dalam arti sesungguhnya dan belajar me-manage diri, ya soal uang, waktu, budaya, iklim, hidup berkeluarga, jauh sanak famili, dan persoalan lain.

Jadi, ketika lulus ujian, kita tidak hanya lulus dari bahan-bahan yang diujikan di depan sidang, tetapi juga lulus dari semua ujian hidup yang terjadi 24 jam sehari selama seseorang mengambil PhD.

Christina E Mediastika Dosen Arsitektur Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

0 comments

Write Down Your Responses

catatan2 universitas Kehidupan

"Inti dari Kecerdasan adalah Bermanfaat" . Powered by Blogger.