Keterangan gambar, duduk: kanan ke kiri: Prof. Dr. Uswatun Hasanah (Pembimbing I), Prof. Dr. Tiktik S Partomo (Ketua Tim Penguji), Prof. Dr. Sofyan S Harahap (Pembimbing II/Penguji) dan Prof. Dr. Yuswar.(Penguji)
berdiri: Jahar, mama elma dan tante yop.
situasi: sesaat setelah nilai sidang tesis di bacakan oleh tim penguji, dapat nilai A.
alhamdulillah, satu hari sebelum berangkat ke Hannover, Jerman, akhirnya bisa sidang tesis, ...tidak ada kesuksesan tanpa perjuangan...terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, sidang tesis ini, mulai dari Prof Uswatun Hasanah, yang walaupun sakit tapi tetap mau ditemui dan mengoreksi tesis saya, banyak sekali masukan dan kebaikan dari beliau yang saya dapatkan. prof Sofyan S Harahap, walaupun baru pulang dari China, namun langsung bekerja mengoreksi tesis saya, saya sangat kagum dengan kecepatan beliau dalam bekerja, tidak ada kata menunda dalam kamus Prof Sofyan.
Kemudian ucapan terima kasih yang "special" kepada pendamping hidupku, istri tercinta dr. radiana dhewayani antarianto, MBiomed, kesabaran dan motivasi darinya menjadi dorongan yang sangat kuat di diri saya, walaupun terpisah lokasi saat tesis ini akan disidangkan, tapi setiap saat si dia, selalau memotivasi memberikan semangat...untuk secepatnya selesai. sekali lagi terima kasih...cayank...:)
omak sawiyah, omak ...merupakan karomah hidup bagi saya...hari ahad, 20 Nov 2010, omak baru saya antar pulang...walupun cuma sampai pk baru...dan saya yakin...saya bisa lancar sidang menyelesaikan tesis dan sidang tesis...karena do'anya yang di ijabah sang khalik...terima kasih omak...abah Damunar (Almarhum)...sampai sekarang...saya masih ingat kebanggaan abah ketika saya bisa masuk s2. walaupun beliau sudah tiada saat saya ujian tesis...tapi semangat dan pesan dari abah hidup dalam diri saya....mama elma...yang mengambil perannya masing-masing, tante yop, tante et, om pipin, buya, mama elly, tante oi, tante achie...terima kasih.
teman-teman di sekretariat ief, lukman, pak slamet, mas uut, mbak lesti, dll....terima kasih dan mohon maaf atas kerewelan saya.
terima kasih juga kepada bu deasy..yang telah mau mencarikan solusi...gimana caranya saya bisa sidang secepatnya....
terkhusus ke teman-teman di al kautsar, pak Tohir Bawazir, sukma , deden, dan seluruh tim marketing (husnul, nita, agus m, asep m, anhar, imam, handono)...karena mereka menerima sahabatnya tidak konsentrasi mengurusi marketing. mohon maaf lahir dan bathin dan ...
anak-anak ku, alif dan zaky...yg ridho waktu mainnya tidak ditemanin abi.....

untaian kata mengalun syahdu
menguak rasa meniti rindu
sejuk terasa bahasa qolbu
menanti hari kembali berpadu
...
duhai pujangga hati
tlah kau torehkan segenap asa
indah meresap ke relung hati
tuk bersama menggapai cita
duhai pujangga jiwa
semilir angin merunduk tafakur
berbisik lirih menggetarkan jiwa
berdzikir agungkan Rabbul alamin, tak terukur
tak terbatas
kan slalu hadir laksana bening embun
meretas batas
tuk slalu hadir hapuskan dahaga gurun
dari seseorang yang sangat merindukanmu, istrimu
ditulis oleh: dr Radiana Dhewayani Antarianto, M.Biomed
Hannover, Jerman, 14 November 2010
7 hari sebelum kedatangan abi-alif-zaky

Pada mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menantikan pandanganmu. Jiwa membangun simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.
Begitulah cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu: jiwa dan raga.
Tapi selalu ada bias disini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas ditengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.
Biasnya adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya: jiwa dan raga. Jangan pernah pakai “atau” disini. Pakailah “dan”: kata sambung yang menghubungkan dua pesona itu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan fisik. Tapi juga dengan fakta bahwa daya tahan pesona fisik kita ternyata sangat sementara. Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang pecinta jika mereka berumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan di atas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi. Tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan. Begitulah pesona jiwa perlahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetik fisik: lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua manusia bisa tetap membangun sebuah jangka panjang sesungguhnya adalah kebijakan jiwa mereka bersama.
Seperempat abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan menikah lagi.
Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya,“ kata Rasulullah saw.
Terlalu agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang menerangi jalan para pecinta sepanjang hidup. Pengalaman di sekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada “atau” bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi “atau”. Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menanti mangsa dalam diam.
Anis Matta