Oleh: Jaharuddin
Tak bisa dipungkiri media adalah alat bantu, dan adagium dari alat bantu adalah sangat tergantung untuk apa digunakan. Namun belakangan ini saya merasakan kekhawatiran bahwa sepertinya media sangat berpengaruh, bahkan cendrung sangat berkuasa dalam menentukan arah kebijakan disuatu negara bernama Indonesia.
Cobalah lihat, bagaimana banyak pihak berlomba-lomba untuk tampil dimedia dengan keunikan masing-masing, belakangan ini saya malah melihat sudah mulai dibuat-buat sedemikian rupa keunikan yang pada akhirnya media mau memberitakan atau menayangkannya.
Apakah benar-benar dibutuhkan masyarakat atau tidak, sepertinya tidak terlalu dihiraukan.
Oleh: Jaharuddin
Awalnya saya sebetulnya mau menulis tentang catatan saya tentang proses pelaksanaan S3 di Jerman, yang berdampak terhadap mahasiswa, dan saya melihat lemahnya peran KBRI lebih khusus Atase pendidikan yang ditugaskan negara, yang mungkin salah satu tugasnya adalah melakukan advokasi terhadap mahasiswa Indonesia yang sedang berjuang sekuat tenaga untuk menyelesaikan studinya di Jerman.
Namun, berupaya obyektif, saya akhirnya juga berupaya untuk mengutarakan dampak positif dari kuliah di Jerman, yang mungkin ini juga sudah banyak tulisan yang membahasnya. makanya akhirnya judulnya saya rubah jadi plus minus kuliah di Jerman. Biar specifik dan tidak bias saya mengambil studi kasus Jerman dan pendidikan S3 saja.
Seorang sahabat dari Indonesia, mengirim pesan via facebook, dari sekian banyak percakapan beliau menyanyakan, motong-motong hewan kurban ngak kemarin. Saya jadi tersentak, iya juga ya, disaat sebagian besar umat muslim diseluruh dunia merayakan idul qurban dengan cara menyembelih hewan kurban, kok kayaknya kami disini biasa saja, bertahun-tahun berkurban dengan cara mengirmkan dana ke petugas, selanjutnya biar petugas yang mengurusi.
Tidak salah, namun sepertinya makna dari kurban itu sendiri menjadi tereduksi. Jadi teringat kondisi kurban dinegeri minoritas seperti Jerman. Tidak dengan mudah memotong hewan di Jerman, harus mengikuti standar Jerman (lagi cari tahu persisnya seperti apa). yang jelas pemotongan hewan tidak bisa seenaknya kita seperti kita di Indonesia, kebayangkan misalnya dikampung, kita beternak ayam, bebek, kambing, dan jika ingin dikonsumsi, tinggal ditangkap trus langsung di sembelih.
Jangan pernah membayangkan fragmen seperti itu di Jerman, anda yang berternak ayam, bebek, atau domba, tidak serta merta bisa menyembelih hewannya, jika tidak bersertifikasi dari pemerintah Jerman.
Saking sulitnya, proses pemotongan hewan di Jerman, pernah dengar cerita seorang ustadz terpaksa memotong kambing akikah anaknya di kamar mandi appartemennya, agar mendapatkan daging yang halal. tapi anda bisa kebayang kah, serunya dikamar mandi melakukan pemotongan kambing...:). dan syukur sekali tidak ketahun, kalau ketahuan itu bisa menjadi perkara yang panjang.
Sampai saat ini pemotongan hewan dengan cara Islam masing dipermasalahkan oleh pemerintah Jerman, dianggap masih tidak memperhatikan hak-hak binatang. Sekarang ada peraturan baru yang akan diterapkan beberapa bulan ini, semua resotan yang menjual daging dari pemotongan secara Islam, harus mendapatkan izin khusus dari pemerintah. akhirnya semakin sedikit restoran yang mau menjual daging dari pemotongan yang sesuai dengan Islam.
Teringat, dengan toleransi di Indonesia...jika anda pernah, atua berada di negara dimana Islam menjadi minoritas, maka jika anda mau jujur, maka anda akan mengatakan bahwa toleransi di Indoensia tersebut, patut menjadi contoh bangsa manapun di dunia.
Umat muslim dinegeri minoritas menerima saja jika hak-haknya belum bisa di kabulkan pemerintah, seperti: sulitnya mendirikan masjid, tidak boleh adzan terdengar keluar masjid, walaupun saat bersamaan setiap jam lonceng gereja berbunyi sahut menyahut disekeling kita, kalau alasannya berisik, menganggu orang lain, kenapa lonceng gereja dibolehkan?.
Saat hari raya (idul fitri dan idul adha) jatuh dihari kerja, umat muslim berjibaku mensiasati, agar tetap bisa sholat hari raya, namun saat yang sama, nanti juga bisa ke kantor untuk bekerja, atau kalau yang sudha lama mensiasatinya dengan cara mengambil cuti.
jadi jangan dibayangkan bisa meriah, berlama-lama seperti di Indonesia, dapat saja sholat jama'ah di masjid sudah syukur alhamdulillah.
belum selesai...belum di edit, akan dilanjutkan....
Oleh: Jaharuddin
Kata-kata yang terucap dari orang tua, yang memberikan kesadaran mendalam dari rasa syukur atas capaian-capaian kehidupan. Ada kalanya rasa syukur itu mulai menipis dikala hantaman tantangan kehidupan dari hari kehari semakin menguji nyali rasa syukur dari setiap diri. Padahal banyak sekali hal yang perlu disyukuri dan ini yang sangat penting "sejarah itu tidak bisa dibeli", maksudanya adalah ....
belum selesai....akan dilanjutkan
Hannover, Musim Gugur, 23 Okt 2012
Oleh: Jaharuddin
Sabtu 03.00 dini hari, saya keluar appartemen untuk melaksanakan aktivitas. Appartemen kami terletak dikota tuanya Hannover. Untuk menuju tempat beraktivitas, saya melewati salah satu sudut kota Hannover. Baru pertama kali saya melewati kawasan ini, setahu saya kawasan ini bukan kawasan "red area".
Sabtu 03.00 dini hari, saya keluar appartemen untuk melaksanakan aktivitas. Appartemen kami terletak dikota tuanya Hannover. Untuk menuju tempat beraktivitas, saya melewati salah satu sudut kota Hannover. Baru pertama kali saya melewati kawasan ini, setahu saya kawasan ini bukan kawasan "red area".
Kawasan red area adalah kawasan lokalisasi yang memang dilegalkan oleh pemerintah kota Hannover, hal yang sama juga ada di kota lain di Jerman. Untuk penguna narkoba, disediakan tempat yang dilegalkan, diberi nama "Fix Punk". Fix Punk terletak di bawah jembatan kereta api, terpisah dari perumahan penduduk.
Pada jam segitu, saya menemukan anak-anak muda yang masih bergadang, di cafe, di pingir jalan, di appartemennya dan sebagian dari mereka sedang berusaha dengan tertatih-tatih untuk melangkah pulang, jalan mereka lunglai tidak beraturan. Sebagian yang lain, berusaha untuk menghentikan kendaraan, sepertinya mencari tumpangan sambil berjalan ditengah jalan dengan kondisi lunglai karena mabuk.
Di sisi lain, saya juga menemukan beberapa wanita yang berjejer dipingir jalan, kalau dilihat dari pakaian mereka, saya menduga mereka ini adalah wanita tuna susila. Ternyata Lokalisasi yang dilegalkan dan dipungut pajak darinya tidak menghilangkan wanita tuna susila yang dipinggiran jalan. Beginikah potret generasi muda negara maju?, alkhohol dijual bebas, seks bebas merebak, tempat pelacuran dan narkoba dilegalkan. Apakah ini menjadi solusi?
Di sisi lain, saya juga menemukan beberapa wanita yang berjejer dipingir jalan, kalau dilihat dari pakaian mereka, saya menduga mereka ini adalah wanita tuna susila. Ternyata Lokalisasi yang dilegalkan dan dipungut pajak darinya tidak menghilangkan wanita tuna susila yang dipinggiran jalan. Beginikah potret generasi muda negara maju?, alkhohol dijual bebas, seks bebas merebak, tempat pelacuran dan narkoba dilegalkan. Apakah ini menjadi solusi?
Generasi muda Jerman sedang terancam, indikasinya adalah budaya minum alkhohol, seks bebas, sedikitnya generasi muda yang mau menikah, kalaupun menikah tidak mau mempunyai anak, menikah dan berkeluarga tidak lagi menjadi penting, implikasinya adalah pertumbuhan penduduk Jerman minus. Kalau anda menjumpai anak-anak kecil, coba anda perhatikan dengan cermat, apakah asli Jerman, ataukah imigran. Biasanya sebagian besar mereka adalah imigran.
Memprihatinkan, disaat pertumbuhan penduduk minus, kalaupun ada generasi muda yang tumbuh menjadi remaja dan dewasa, mereka digerogoti oleh budaya yang tidak sehat, dan lebih parah lagi banyak yang ateis.
Sebenarnya pemerintah Jerman, sudah mengetahui dengan pasti gejala ini, dan muncullah program untuk menstimulan setiap orang untuk menikah, berkeluarga dan mempunyai anak, seperti adanya tunjangan anak-anak, tunjangan untuk orang tua agar bisa mengasuh anak, peraturan ketenaga kerjaan yang akomodatif bagi orang tua dan seterusnya. Namun, ternyata stimulan ini malah dinikmati oleh para imigran.
Budaya hidup mereka telah terbentuk sedari awal, sebagai manusia bebas, tidak mau ada kekangan pernikahan, anak-anak. Mereka serius bekerja dan saatnya nanti menikmati liburan dan masa tuanya dengan tenang, sampai meninggal. Terkadang miris melihat ada seorang ibu tua, tertatih-tatih berjalan sendirian mengisi masa-masa tuanya, terkadang saya bertanya didalam hati dimana anak-anak mereka?, atau bisa jadi mereka tidak punya anak. Sudah menjadi cerita lumrah, seseorang yang sudah tua renta tinggal sendiri di appartemennya sampai meninggal tanpa ditemanin oleh siapapun, dan meninggalnya pun diketahui jika koran langanannya atau surat menyurat sudah menumpuk di kotak suratnya, itu pertanda bahwa si penghuni rumah/apartemen sudah tiada.
Pertanyaan selanjutnya, kalau begitu kok sampai sekarang Jerman, masih dikenal sebagai negara kuat dan negara mapan serta maju?. Benar, saat inipun Jerman merupakan pilar utama uni eropa, disaat negara-negara eropa lainnya berjibaku melawan krisis, Jerman masih berdiri tegar dan kuat, bahkan menjadi pahlawan yang diharapkan kehadirannya dalam setiap krisis yang mengerogoti negara eropa yang lain.
Negara Jerman, telah membangun bangsanya dengan sistim sosialis demokrat yang sudah mapan, dan saat ini walaupun generasi mudanya mulai rusak, sistim yang dibangun masih bekerja efektif, dan mereka mampu membangun budaya unggul dalam bekerja, sehingga saat mereka bekerja, mereka serius dan profesional, yang pada akhirnya menghasilkan produk berkualitas nomor wahid dunia. Namun sampai kapan?, kita lihat saja, saya menduga ketika ekonomi mereka suatu hari bermasalah, akan muncul dampak rentetan selanjutnya, yang memprihatinkan.
Pelajaran
Indonesia yang membentang dari Sabang sampai dengan Merauke merupakan bangsa besar. Telah nyata kerusakan negara-negara besar di saat mereka mencampakkan agama dalam pembangunannya. Saat ini mereka sedang menghadapi masalah-masalah besar yang bisa jadi menyebabkan runtuhnya tatanan sosial masyarakatnya. Budaya meminum alkhohol, Seks bebas, punya anak tanpa diikat pernikahan, tidak mau menikah, atau bahkan tidak mau mempunyai anak, merupakan budaya yang merebak dinegara maju seperti Jerman, negara eropa lainnya, Amerika dan Jepang.
Saatnya nanti akan menjadi bom waktu yang membuat tatanan yang telah dibangun lama menjadi berkeping-keping dan susah untuk dipulihkan kembali. Untuk itu, Indonesia tidak perlu jatuh pada kesalahan yang sama, tidak ada yang melarang bahwasanya pembangunan di Indonesia unik dan tidak mencontoh persis pembangunan di negara lain.
Keadilan dan Kesejahteraan harus dihadirkan, menyamai negara maju, namun Indonesia tetap unik yaitu memegang teguh nilai agama yang pasti kebenarannya. Bagi anda yang beragama Islam, semakin anda sejahtera semakin mendekatlah dengan Islam, sehingga anda maju, modern, tanpa perlu menghilangkan identitas agama anda. Hal yang sama juga bagi agama lain. Negara Indonesia harus maju, sejahtera dan berkeadilan. Ini menjadi modal untuk menjadi negara besar. Upaya-upaya yang menjauhkan bangsa Indonesia dari agamanya harus menjadi musuh bersama dari setiap anak bangsa. Bisa jadi, negara-negara yang maju saat ini, akan belajar ke Indonesia mengkombinasikan antara kesejahteraan, keadilan, modern dan religius. Tinggal mewariskan kepada generasi selanjutnya bahwa anda beruntung dilahirkan dari rahim bangsa besar bernama Indonesia.
Merdeka !!!,.:) , semoga bermanfaat.
Hannover, Musim Gugur, 19 Oktober 2012
foto: http://media.viva.co.id |
Beberapa hari ini deman Jokowi melanda masyarakat Jakarta, saya yang memiliki KTP Jakarta namun sedang tidak mukim di Jakarta pun akhirnya juga ikut senang mengklik berita, tindak tanduk dan sepak terjang yang dilakukan Jokowi dan Dahlan Iskan.
Ketika Pilkada DKI kemarin, saya bukanlah pendukung Jokowi, jagoan saya kalah dalam pertarungan, dan dengan besar hati menerima kekalahan, dan sekarang Jokowilah sebagai pemenang. Yang menarik bagi saya adalah gejala sebelum dan setelah terpilihnya Jokowi. Masyarakat sangat mengelu-elukan beliau, bahkan menurut pandangan subyektif saya, beliau lebih dielu-elukan oleh penduduk Jakarta bila dibandingkan pejabat lainnya, mengapa?, gejala apakah yang sedang terjadi dalam hati dan perasaan masyarakat kita?
Awalnya saya melihat gejala Jokowi adalah persepsi yang terbentuk di masyarakat yang sengaja ataupun tidak, di munculkan oleh media dan konsultan politik. Sepertinya persepsi tersebut belum tentu benar 100%. Lebih dalam saya melihat, ternyata ada fenomena berjaraknya pejabat publik dan rakyat yang telah berlangsung lama sejak Indonesia merdeka, dan di era reformasi ini muncul rasa rindu yang mendalam masyarakat terhadap pejabat publik yang benar-benar mau merasakan kesusahan rakyat. Masyarakat benar-benar rindu dengan pejabat yang apa adanya, pejabat yang tidak minta dilayani, pejabat yang menggunakan pakaian, kendaraan, dan fasilitas lainnya, sama dengan masyarakat kebanyakan, walaupun saat yang sama dia mampu, mempunyai dan halal mengunakan fasilitas yang lebih dari yang dia gunakan.
Masyarakat sepertinya sudah lelah dengan berbagai permainan sinetron yang selama ini diperankan oleh banyak pihak termasuk pejabat publik. Timbul gejala ketidak percayaan masyarakat terhadap pejabat yang membangun citra dirinya berpendidikan, pintar, cerdas, dan embel-embel lainnya. Konon saat menjelang pemilu dan pilkada seorang calon legislatif maupun eksekutif bersegera untuk menambah gelar akademiknya, biar saat kampanye kelihatan lebih menyakinkan, misalnya gelar sarjana, master, doktor, bahkan profesor.
Yang terjadi saat ini malahan sebaliknya, gelar-gelar akademik tersebut sepertinya telah membuat rakyat bosan, karena kenyataannya orang-orang berpendidikan, pintar, cerdas tersebut terlalu elitis, pintar beretorika, namun sedikit manfaat yang dirasakan rakyat kebanyakan. Pada saat kampanye janji-janji manis ditawarkan kepada rakyat, setelah terpilih, lupa akan janji-janjinya, dan kalau ditagih, sangat pintar menjawab dengan retorika, yang bisa jadi memang logis dan menyakinkan, sampai-sampai masyarakat kalah dalam beretorika.
Bahkan dari sisi penampilan dan wajah pun saat ini mempengaruhi, apakah wajah mereka mewakili dari kalangan yang pernah merasakan pahit getirnya kehidupan atau tidak, dan akan sangat membantu jika saat ini pun diwajah-wajah mereka masih terlihat dengan jelas, goresan pahit getirnya perjuangan kehidupan yang mereka lakukan. Melalui media ini, akhirnya masyarakat menarik kesimpulan, bahwa apa yang dijanjikan lebih masuk akal dan yakin dilaksanakan.
Bahkan dari sisi penampilan dan wajah pun saat ini mempengaruhi, apakah wajah mereka mewakili dari kalangan yang pernah merasakan pahit getirnya kehidupan atau tidak, dan akan sangat membantu jika saat ini pun diwajah-wajah mereka masih terlihat dengan jelas, goresan pahit getirnya perjuangan kehidupan yang mereka lakukan. Melalui media ini, akhirnya masyarakat menarik kesimpulan, bahwa apa yang dijanjikan lebih masuk akal dan yakin dilaksanakan.
Implikasi masa transisi
Ini adalah implikasi masa transisi dari masa berjaraknya pejabat publik dengan rakyat, ke masa menyatunya pejabat publik dengan rakyatnya, dan ini baik untuk demokrasi di Indonesia, akan mendorong setiap orang yang mau menjadi pejabat publik untuk benar-benar mau merasakan pahit getirnya kehidupan pada masyarakat bawah, yang saat ini masih dominan di Indonesia.
Tetap difahami ini adalah budaya masa transisi yang terus harus dikawal, jangan sampai pilihan rakyat dijatuhkan pada hal-hal yang sebenarnya artificial, dalam sistim demokrasi idealnya pejabat publik yang terpilih adalah dari jalur partai politik yang kuat, karena ini penting untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh eksekutif didukung penuh oleh legislatif yang menjadi perwakilan rakyat secara formal, idealnya pemimpin itu adalah pemimpin yang sholeh, berpendidikan, cerdas, benar-benar mau merasakan keluhan masyarakat bawah, saat yang sama mempunyai kekuatan dan dukungan yang kuat untuk menuntaskan program-program yang benar-benar dirasakan rakyatnya.
Pada saat ini, lembaga-lembaga yang seharusnya dimuliakan, namun dicoreng moreng dengan berbagai kasus yang mereka buat sendiri, legislatif tidak mendapatkan simpati dari rakyat, yudikatif juga demikian, eksekutifpun sama, termasuk sebagian partai politik yang merupakan pilar demokrasipun juga demikian. Akhirnya masyarakat seperti tidak mempunyai alternatif yang tepat untuk menyalurkan aspirasinya. Aspirasi masyarakat disalurkan melalui media, unjuk rasa dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak mampu mewakili aspirasi masyarakat bawah.
Maka tidak aneh, saat ini masyarakat mudah terpancing, mudah terpicu dan sangat bersimpati ketika satu-satunya lembaga yang dianggap masih bisa diharapkan seperti KPK dizholimi, maka rakyat berbondong-bondong untuk membelanya, fenomena ini pulalah yang terjadi dengan Jokowi. Jokowi mendapatkan pembelaan yang besar dari rakyat karena di anggap orang-orang yang menghidupkan pelita perbaikan di Jakarta, dan begitu juga dengan Dahlan Iskan, beliau juga dianggap orang-orang yang memberikan harapan pada masyarakat, dan masyarakat percaya mereka adalah orang-orang yang tidak hanya beretorika, namun mereka adalah orang-orang yang mau dan mampu melaksanakannya. Jangan heran jika suatu saat ada pihak-pihak yang menghambat dan menganggu tokoh-tokoh yang menghidupkan pelita harapan masyarakat ini, masyarakat akan menjadi tameng dalam membela tokoh-tokoh ini.
Pelajaran
Dari kasus ini semua pihak hendaknya mengambil pelajaran bahwa, saat ini masyarakat rindu perbaikan yang bukan pada tataran retorika dan angka-angka yang tidak dirasakan masyarakat bawah. Tidak ada manfaatnya bagi masyarakat bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,7% pada saat AS dan Eropa bergejolak, transaksi bursa efek Indonesia Rp. 5,8 triliun perhari, Indonesia masuk menjadi negara G20, dan seterusnya. Masyarakat memerlukan sisi riil dari pembangunan, seperti tidak macet, banjir berkurang, setiap anak usia sekolah wajib sekolahkan dengan fasilitas penuh dari pemerintah, kesehatan murah dan mudah didapatkan dan pejabat yang tidak berjarak dengan masyarakat. Wallahu alam bishawab.
hanya secuil catatan sederhana, semoga bermanfaat.
Hannover, Musim gugur, 17 Okt 2012
Ini adalah implikasi masa transisi dari masa berjaraknya pejabat publik dengan rakyat, ke masa menyatunya pejabat publik dengan rakyatnya, dan ini baik untuk demokrasi di Indonesia, akan mendorong setiap orang yang mau menjadi pejabat publik untuk benar-benar mau merasakan pahit getirnya kehidupan pada masyarakat bawah, yang saat ini masih dominan di Indonesia.
Tetap difahami ini adalah budaya masa transisi yang terus harus dikawal, jangan sampai pilihan rakyat dijatuhkan pada hal-hal yang sebenarnya artificial, dalam sistim demokrasi idealnya pejabat publik yang terpilih adalah dari jalur partai politik yang kuat, karena ini penting untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh eksekutif didukung penuh oleh legislatif yang menjadi perwakilan rakyat secara formal, idealnya pemimpin itu adalah pemimpin yang sholeh, berpendidikan, cerdas, benar-benar mau merasakan keluhan masyarakat bawah, saat yang sama mempunyai kekuatan dan dukungan yang kuat untuk menuntaskan program-program yang benar-benar dirasakan rakyatnya.
Pada saat ini, lembaga-lembaga yang seharusnya dimuliakan, namun dicoreng moreng dengan berbagai kasus yang mereka buat sendiri, legislatif tidak mendapatkan simpati dari rakyat, yudikatif juga demikian, eksekutifpun sama, termasuk sebagian partai politik yang merupakan pilar demokrasipun juga demikian. Akhirnya masyarakat seperti tidak mempunyai alternatif yang tepat untuk menyalurkan aspirasinya. Aspirasi masyarakat disalurkan melalui media, unjuk rasa dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak mampu mewakili aspirasi masyarakat bawah.
Maka tidak aneh, saat ini masyarakat mudah terpancing, mudah terpicu dan sangat bersimpati ketika satu-satunya lembaga yang dianggap masih bisa diharapkan seperti KPK dizholimi, maka rakyat berbondong-bondong untuk membelanya, fenomena ini pulalah yang terjadi dengan Jokowi. Jokowi mendapatkan pembelaan yang besar dari rakyat karena di anggap orang-orang yang menghidupkan pelita perbaikan di Jakarta, dan begitu juga dengan Dahlan Iskan, beliau juga dianggap orang-orang yang memberikan harapan pada masyarakat, dan masyarakat percaya mereka adalah orang-orang yang tidak hanya beretorika, namun mereka adalah orang-orang yang mau dan mampu melaksanakannya. Jangan heran jika suatu saat ada pihak-pihak yang menghambat dan menganggu tokoh-tokoh yang menghidupkan pelita harapan masyarakat ini, masyarakat akan menjadi tameng dalam membela tokoh-tokoh ini.
Pelajaran
Dari kasus ini semua pihak hendaknya mengambil pelajaran bahwa, saat ini masyarakat rindu perbaikan yang bukan pada tataran retorika dan angka-angka yang tidak dirasakan masyarakat bawah. Tidak ada manfaatnya bagi masyarakat bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,7% pada saat AS dan Eropa bergejolak, transaksi bursa efek Indonesia Rp. 5,8 triliun perhari, Indonesia masuk menjadi negara G20, dan seterusnya. Masyarakat memerlukan sisi riil dari pembangunan, seperti tidak macet, banjir berkurang, setiap anak usia sekolah wajib sekolahkan dengan fasilitas penuh dari pemerintah, kesehatan murah dan mudah didapatkan dan pejabat yang tidak berjarak dengan masyarakat. Wallahu alam bishawab.
hanya secuil catatan sederhana, semoga bermanfaat.
Hannover, Musim gugur, 17 Okt 2012